Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak
Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak

Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak

Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak
Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak

Biksu Berjalan Kaki Lintas Negara Untuk Merayakan Waisak 2025 Di Candi Borobudur Di Meriahkan Oleh Perjalanan Spiritual Luar Biasa. Mereka yang yang berjalan kaki lintas negara, menempuh jarak sekitar 2.500 hingga 2.763 kilometer dari Bangkok, Thailand, menuju Magelang, Indonesia. Perjalanan ini di mulai pada 6 Februari 2025 dan melintasi beberapa negara, yaitu Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sebelum tiba di Borobudur pada 10 Mei 2025, dua hari sebelum puncak perayaan Waisak.

Thudong merupakan praktik spiritual tertinggi dalam ajaran Buddha Theravada yang meneladani Sang Buddha yang mengembara tanpa tempat tinggal tetap. Para biksu hanya membawa bekal minimal berupa dua jubah, sandal, dan obat-obatan. Serta mengandalkan kemurahan hati masyarakat untuk mendapatkan makanan dan tempat beristirahat selama perjalanan. Mereka berjalan melewati hutan, gunung, dan perdesaan dengan penuh ketekunan dan disiplin. Menjadikan perjalanan ini sebagai latihan batin yang mengajarkan kesabaran, pengendalian diri, dan kesederhanaan.

Sepanjang perjalanan, para Biksu di sambut dengan hangat oleh masyarakat lintas agama di berbagai daerah yang mereka lalui. Termasuk di rumah ibadah seperti masjid, gereja, dan vihara. Yang mencerminkan nilai toleransi dan persaudaraan antarumat beragama. Mereka juga singgah di beberapa tempat suci. Seperti Klenteng Tay Kak Sie di Semarang. Untuk melakukan ritual puja dan sanghadana sebagai bagian dari penguatan spiritual.

Setibanya di Candi Borobudur, para biksu melakukan ritual pradaksina. Yaitu berjalan mengelilingi stupa utama sebagai bentuk penghormatan dan refleksi spiritual mendalam. Perjalanan Thudong ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan terhadap nilai-nilai luhur Dhamma. Tetapi juga menjadi ajakan universal untuk mewujudkan perdamaian, kebijaksanaan, dan harmoni di tengah keberagaman masyarakat.

Dengan demikian, perjalanan suci biksu berjalan kaki lintas negara dalam rangka merayakan Waisak menjadi wujud nyata penghayatan ajaran Buddha sekaligus mempererat persaudaraan dan toleransi antarbangsa di Asia Tenggara.

Biksu Berjalan Kaki Menggapai Borobudur

Biksu Berjalan Kaki Menggapai Borobudur Perjalanan iman biksu berjalan kaki menggapai Borobudur merupakan sebuah ritual spiritual yang melintasi batas negara dan menempuh jarak ribuan kilometer dengan penuh ketabahan dan kesederhanaan. Pada tahun 2025, sebanyak 36 biksu Thudong memulai perjalanan mereka sejak 6 Februari dari Nakhon Si Thammarat, Thailand. Menuju Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, menempuh jarak sekitar 2.763 kilometer melewati beberapa negara. Seperti Malaysia dan Singapura sebelum tiba di tujuan pada 10 Mei 2025. Dua hari sebelum perayaan Hari Raya Waisak.

Thudong, yang berasal dari bahasa Pali yang berarti latihan keras. Adalah tradisi berjalan kaki yang sudah di lakukan sejak zaman Sang Buddha sebagai bentuk pengamalan ajaran Buddha dengan menjalani hidup sederhana dan disiplin tinggi. Para biksu hanya membawa bekal minimal seperti dua jubah, sandal, dan obat-obatan. Serta mengandalkan kemurahan hati masyarakat untuk makan dan beristirahat selama perjalanan. Mereka berjalan melewati hutan, gunung, desa, dan kota dengan penuh kesabaran dan pengendalian diri, menghadapi berbagai tantangan fisik. Seperti luka, cuaca ekstrem, dan keterbatasan medis tanpa mengeluh.

Perjalanan ini bukan sekadar menempuh jarak fisik, melainkan juga latihan batin yang mendalam untuk mengasah ketabahan, kesederhanaan, dan kedamaian hati. Sepanjang perjalanan, para biksu disambut hangat oleh masyarakat lintas agama di berbagai daerah. Menunjukkan semangat toleransi dan persaudaraan yang melampaui perbedaan suku dan agama. Sambutan ini memberikan semangat tambahan bagi para biksu untuk melanjutkan perjalanan spiritual mereka hingga mencapai puncak di Borobudur.

Sesampainya di Candi Borobudur, para biksu melakukan ritual pradaksina-berjalan mengelilingi stupa utama sebagai bentuk penghormatan dan refleksi spiritual. Momen ini menandai puncak perjalanan fisik sekaligus awal perenungan mendalam atas ajaran Buddha. Mengajak setiap peziarah untuk menginternalisasi nilai-nilai kebijaksanaan, kasih sayang, dan kedamaian universal. Dengan demikian, perjalanan iman ini menjadi simbol persatuan, keteguhan. Dan penghayatan spiritual yang melintasi batas negeri dan waktu.

Tantangan Dalam Perjalanan Lintas Negara

Tantangan Dalam Perjalanan Lintas Negara perjalanan lintas negara yang di lakukan para biksu Thudong menuju Candi Borobudur bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian jiwa yang sangat berat. Para biksu harus menempuh ribuan kilometer dengan berjalan kaki. Melewati berbagai medan seperti hutan, gunung, dan perdesaan, serta menghadapi cuaca ekstrem yang bisa mencapai suhu hingga 44 derajat Celsius. Kondisi ini menuntut ketahanan fisik yang luar biasa. Karena mereka harus berjalan cepat dan terus-menerus dengan bekal minimal, hanya membawa dua jubah, sandal, dan obat-obatan. Serta mengandalkan kemurahan hati masyarakat untuk makanan dan tempat beristirahat.

Selain tantangan fisik, perjalanan ini juga merupakan latihan mental dan spiritual yang mendalam. Para biksu harus menjalani disiplin ketat sesuai aturan Vinaya yang melarang mereka makan setelah tengah hari. Hanya menerima makanan ringan atau minuman cair agar tidak kenyang berlebihan. Mereka juga harus mengendalikan emosi, menekan ego, dan melatih kesabaran dalam menghadapi kelelahan, rasa sakit, dan cedera ringan seperti kuku lepas yang di alami beberapa biksu selama perjalanan.

Perjalanan ini menguji ketabahan dan tekad para biksu untuk tetap fokus pada tujuan spiritual mereka. Yaitu mencapai pencerahan dan memperdalam penghayatan ajaran Buddha. Meskipun penuh rintangan, semangat dan kebahagiaan tetap terpancar dari para biksu, yang melihat perjalanan ini sebagai wujud latihan diri dan penguatan iman. Mereka juga mendapat dukungan moral dan sambutan hangat dari masyarakat lintas agama di sepanjang rute, yang semakin menguatkan tekad mereka.

Dengan demikian, perjalanan Thudong adalah ujian raga dan jiwa yang menggabungkan tantangan fisik berat dengan latihan batin yang intens. Perjalanan ini mengajarkan nilai-nilai kesabaran, ketekunan, pengendalian diri, dan kedamaian batin yang menjadi inti dari spiritualitas Buddhis, sekaligus menjadi simbol keteguhan iman yang melintasi batas negara dan budaya.

Tujuan Akhir Yang Sarat Makna Waisak Di Borobudur

Tujuan Akhir Yang Sarat Makna Waisak Di Borobudur dengan perayaan Waisak di Candi Borobudur merupakan tujuan akhir yang sarat makna bagi umat Buddha dari seluruh dunia, sekaligus menjadi momen penting untuk merenungkan ajaran Sang Buddha dan memperkuat nilai-nilai kedamaian, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Setiap tahun, puncak perayaan Waisak di Borobudur diwarnai dengan berbagai ritual sakral yang di mulai dari pengambilan Api Dharma di Mrapen dan Air Suci di Umbul Jumprit, yang kemudian di bawa ke Candi Mendut sebelum di arak menuju Borobudur sebagai simbol kesucian dan penerusan ajaran Buddha.

Pada hari puncak, umat Buddha melakukan kirab dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur dengan penuh khidmat, di iringi doa dan puja bakti yang memperkuat rasa kebersamaan dan spiritualitas. Salah satu momen paling mengesankan adalah pelepasan ribuan lampion ke langit malam, yang melambangkan harapan, pencerahan, dan pelepasan dari penderitaan duniawi. Cahaya lampion yang menerangi kegelapan menjadi metafora spiritual tentang kebijaksanaan yang menerangi jalan kehidupan.

Ritual pradaksina atau berjalan mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali juga menjadi bagian penting dari perayaan, sebagai wujud penghormatan dan refleksi mendalam atas perjalanan spiritual manusia menuju pencerahan. Suasana sakral dan khidmat di kompleks Borobudur mengajak setiap peserta untuk memperkuat pengendalian diri dan kebijaksanaan, sesuai tema Waisak 2025, yaitu “Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan, Wujudkan Perdamaian Dunia”.

Selain sebagai perayaan keagamaan, Waisak di Borobudur juga menjadi ajang mempererat persaudaraan lintas bangsa dan agama, di tandai dengan kehadiran bhikkhu dari berbagai negara yang melakukan ritual Thudong berjalan kaki ribuan kilometer menuju Borobudur.

Dengan demikian, Waisak di Borobudur bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan tujuan akhir perjalanan spiritual yang sarat makna, mengajak umat untuk menghayati nilai-nilai luhur Buddha dalam kehidupan sehari-hari dan mewujudkan dunia yang damai dan harmonis. Inilah beberapa penjelasan yang bisa kamu ketahui mengenai Biksu.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait