Finance
Mengapa Masyarakat Sipil Menolak UU TNI 2025
Mengapa Masyarakat Sipil Menolak UU TNI 2025

Mengapa Masyarakat Sipil Menolak UU TNI 2025 Karena Di Anggap Mengancam Demokrasi Supremasi Sipil Dan Hak Asasi Manusia. Berikut adalah beberapa poin utama penolakan tersebut:
Pertama, kembalinya Praktik Dwifungsi TNI Revisi UU TNI memperluas peran prajurit aktif dalam jabatan sipil, dari 10 menjadi 16 lembaga. Hal ini di anggap menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer ala Orde Baru, di mana TNI tidak hanya bertugas dalam pertahanan. Tetapi juga terlibat dalam politik dan ekonomi. Praktik ini terbukti merusak supremasi sipil. Serta menciptakan konflik kepentingan yang dapat melemahkan demokrasi.
Kedua, ancaman terhadap Independensi Peradilan dan Impunitas Militer UU TNI yang baru di nilai memperkuat kekebalan hukum bagi anggota TNI. Sehingga sulit di mintai pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum atau HAM. Hal ini berpotensi menghasilkan tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi hukum. Yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Ketiga, pelanggaran Komitmen HAM Internasional, Revisi ini bertentangan dengan rekomendasi berbagai instrumen HAM internasional. Seperti Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Indonesia di anggap mengkhianati kewajibannya untuk memastikan akuntabilitas militer dan melindungi hak-hak sipil. Sebagaimana di atur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Keempat, potensi Pelanggaran HAM dan Demokrasi, Pasal-pasal kontroversial dalam UU ini memungkinkan militer untuk melakukan intervensi dalam urusan sipil tanpa pengawasan efektif. Membuka ruang bagi pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi pada masa lalu.
Secara keseluruhan, Mengapa Masyarakat sipil menilai revisi UU TNI sebagai langkah mundur yang mengancam demokrasi dan reformasi sektor keamanan yang telah di perjuangkan sejak 1998. Penolakan terhadap undang-undang ini menjadi penting untuk menjaga supremasi sipil. Hak asasi manusia, dan masa depan demokrasi di Indonesia.
Mengapa Masyarakat Menolak UU TNI Apakah Ada Hubungannya Dengan Orde Baru?
Mengapa Masyarakat Menolak UU TNI Apakah Ada Hubungannya Dengan Orde Baru?, masyarakat Indonesia menolak revisi Undang-Undang TNI yang di sahkan pada 20 Maret 2025 karena di anggap mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan menghidupkan kembali praktik-praktik otoritarianisme yang terjadi pada era Orde Baru. Salah satu alasan utama penolakan ini adalah kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI. Di mana militer tidak hanya berfokus pada pertahanan negara. Tetapi juga terlibat dalam politik dan urusan sipil. Praktik ini telah terbukti merugikan demokrasi dan memperburuk kondisi hak asasi manusia di masa lalu.
Revisi UU TNI ini memperbolehkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil, dari 10 menjadi 16 lembaga. Termasuk posisi strategis seperti di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan dan mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil. Yang dapat melemahkan supremasi sipil. Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis menilai bahwa langkah ini berpotensi membawa kembali situasi di mana militer memiliki kekuasaan yang berlebihan dalam pengambilan keputusan politik.
Selain itu, revisi ini juga di anggap memperkuat impunitas bagi anggota TNI. Dengan lebih banyaknya prajurit aktif di posisi sipil, tindakan mereka dapat sulit di pertanggungjawabkan. Terutama dalam hal pelanggaran hukum atau hak asasi manusia. Sejarah kelam Indonesia selama Orde Baru menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam politik sering kali berujung pada pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan tindakan represif terhadap masyarakat.
Masyarakat sipil menilai bahwa revisi UU TNI bertentangan dengan amanat reformasi 1998 yang mengedepankan supremasi sipil dan profesionalisme militer sebagai alat pertahanan negara. Oleh karena itu, penolakan terhadap UU TNI 2025 menjadi penting untuk menjaga agar sejarah kelam tidak terulang kembali dan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga di Indonesia.
UU TNI 2025 Sebagai Kemunduran Demokrasi
UU TNI 2025 Sebagai Kemunduran Demokrasi, Reformasi TNI yang terhambat oleh di sahkannya Undang-Undang TNI 2025 di anggap sebagai kemunduran demokrasi di Indonesia, mengingat sejumlah pasal dalam revisi ini berpotensi mengembalikan praktik-praktik otoritarianisme yang pernah terjadi pada era Orde Baru. Salah satu kekhawatiran utama adalah kembalinya konsep dwifungsi TNI, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga terlibat dalam politik dan urusan sipil. Dengan memperbolehkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil, dari 10 menjadi 16 lembaga, revisi ini dapat mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil, yang berpotensi merusak supremasi sipil.
Proses pengesahan UU TNI juga di pertanyakan karena di lakukan secara tertutup, tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Hal ini menciptakan kesan bahwa pemerintah dan DPR tidak menghargai suara rakyat serta tidak berkomitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Ketidaktransparanan dalam proses legislasi ini mencerminkan pola yang sama dengan pembentukan undang-undang di masa Orde Baru, di mana kepentingan politik sering kali mengalahkan kepentingan masyarakat.
Revisi UU TNI juga di anggap memperkuat impunitas bagi anggota TNI, yang dapat bertindak tanpa takut akan konsekuensi hukum. Dengan lebih banyak prajurit aktif di posisi strategis. Tindakan mereka dapat sulit di pertanggungjawabkan, terutama dalam hal pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki kekuasaan lebih besar dalam ranah sipil, risiko penyalahgunaan wewenang meningkat.
Secara keseluruhan, di sahkannya UU TNI 2025 menunjukkan bahwa reformasi TNI masih terhambat oleh kepentingan politik yang mengedepankan kekuasaan militer di atas prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, penolakan terhadap undang-undang ini menjadi penting untuk memastikan bahwa Indonesia tetap pada jalur reformasi dan menghormati hak-hak sipil serta supremasi hukum.
Militerisasi Kebijakan Publik
Militerisasi Kebijakan Publik di Indonesia, terutama setelah di sahkannya Undang-Undang TNI 2025, menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat sipil. Pertama, revisi ini memberikan legitimasi bagi perluasan peran militer dalam ranah sipil. Yang dapat mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil. Dengan lebih banyak prajurit aktif menduduki jabatan sipil, ada risiko bahwa keputusan yang seharusnya di ambil oleh pejabat sipil akan di pengaruhi oleh kepentingan militer. Yang berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Kedua, keterlibatan militer dalam kebijakan publik dapat menciptakan ketergantungan pada kekuatan militer dalam menangani isu-isu sosial dan politik. Masyarakat sipil harus waspada karena hal ini dapat mengarah pada pengabaian terhadap peran mereka sebagai aktor demokratis yang bebas dan otonom. Ketika militer mulai mengambil alih fungsi-fungsi sipil, identitas warga negara sebagai pengambil keputusan yang setara dan mandiri dapat terancam.
Selanjutnya, sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam politik sering kali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan represif. Pengalaman masa lalu, terutama selama era Orde Baru, mengingatkan kita bahwa ketika militer memiliki kekuasaan lebih besar dalam ranah sipil, masyarakat sering kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak pro-rakyat. Oleh karena itu, masyarakat sipil perlu waspada terhadap kemungkinan kembalinya praktik-praktik otoritarianisme yang merugikan.
Selain itu, pengesahan UU TNI 2025 di lakukan tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Proses yang tidak transparan ini menciptakan kesan bahwa pemerintah dan DPR tidak menghargai suara rakyat. Ketidaktransparanan ini berpotensi memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan memperburuk hubungan antara pemerintah dengan rakyat.
Akhirnya, militerisasi kebijakan publik dapat menghambat proses reformasi yang telah di perjuangkan sejak 1998. Masyarakat harus berjuang untuk menjaga agar reformasi tetap berjalan dan memastikan bahwa kekuasaan militer tidak kembali mendominasi kehidupan politik dan sosial. Dengan demikian, kewaspadaan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa demokrasi tetap terjaga dan hak-hak sipil di hormati. Inilah beberapa penjelasan mengenai Mengapa Masyarakat.